Integrasi teknologi dan juga dunia medis di era serba modern saat ini, adalah sebuah keharusan. Kombinasi antara kedua bidang ini, akan memberikan banyak manfaat untuk manusia. Satu di antara banyak manfaat tersebut adalah mampu meningkatkan efisiensi proses, baik itu proses penanganan pasien, proses pengambilan keputusan, dan juga proses pembelajaran atau pelatihan bagi tenaga medis.
Tanpa adanya integrasi teknologi dalam dunia medis, maka tentu saja kita masih akan berkutat pada metode-metode lama. Yang itu jelas membutuhkan prosedur yang rumit serta biaya yang tidak sedikit. Parahnya, hasil yang didapatkan dari riset dunia medis tanpa teknologi alias menggunakan metode lama ini, belum tentu akurat.
Risiko kecelakaan kerja pun kemungkinan besar terjadi. Kita dapat belajar dari banyak sejarah medis terdahulu. Didapatkan dari hasil jurnal Surgical Neurology International tahun 2015, para ilmuwan menemukan sekitar 1.500 tengkorak berlubang karena trepanasi di area situs yang sama. Mayoritas dari 1.500 tengkorak tersebut, sehat-sehat saja alias tidak membutuhkan operasi otak.
Ketidakpraktisan dan juga besarnya risiko penelitian medis, juga pernah dialami untuk penelitian Cadavers atau mayat. Di mana pada zaman dulu, tepatnya pada abad 5-15, Universitas-Universitas di Eropa membutuhkan izin dari Kepausan. Pasokan cadavers pun sangat bergantung pada mayat pelaku kriminal. Bahkan tidak sedikit tindakan ilegal dilakukan untuk bisa memastikan pasokan mayat terus berlanjut.
Seiring berjalannya waktu, berkembanganya ilmu medis, sosial dan juga teknologi, memberikan angin segar prosedur pelatihan Cadavers untuk penelitian penyakit dalam atau untuk anatomi, menjadi sedikit mudah. Sekarang, calon dokter dan dokter dapat mempelajari Cadavers melalui sebuah replika boneka atau manekin.
Penggunaan replika boneka atau manekin ini jelas jadi solusi untuk tenaga medis lebih mudah mendapatkan media pembelajarannya. Perlu diketahui bahwa penggunaan cadavers untuk penelitian medis di Indonesia, diatur ketat dalam PP Nomor 18 Tahun 1981 dan UU Nomor 36 Tahun 2009.
Mayat yang didapatkan pun harus diperoleh dengan memenuhi 2 syarat, yakni pasien tidak memiliki keluarga, atau pihak keluarga memilih menyerahkannya ke pihak rumah sakit, dan mayat diperoleh dari lembaga seperti PMI, BPBD, SAR, Kepolisian, Panti Jompo.
Penggunaan replika boneka dan manekin ini pun jelas lebih murah jika dibandingkan dengan biaya yang diperlukan untuk tenaga medis mendapatkan cadavers asli. Dikutip dari Tribunnews, pada tahun 2018, satu cadaver dapat dihargai sebesar 10 hingga 20 juta rupiah. Mahasiswa kedokteran tentu saja tidak perlu menyiapkan uang sebesar itu, karena ini, sudah bagian dari tanggung jawab kampus.
Sayangnya, penggunaan replika boneka dan manekin ini pun masih punya kelemahan mendasar. Kelemahan tersebut adalah ketidakmampuan 2 media ini memberikan visualisasi data yang lebih menarik untuk peserta pelatihan.
Kita jelas butuh media yang jauh lebih powerful untuk pelatihan dunia medis. Kita butuh media yang lebih hemat, tapi tetap efektif untuk mendukung pelatihan medis jadi lebih menarik. Solusi itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Virtual Reality.
Virtual reality, atau akrab disingkat dengan VR, adalah konsep teknologi yang pertama kali dikembangkan dari mesin Head-Mounted Display ciptaan Ivan Sutherland. Teknologi ini, semakin menuju kesempurnaan setelah Jaron Lanier melakukan gebrakan besar di tahun 1980-an.
Hingga sekarang, penerapan VR untuk berbagai lini kehidupan manusia pun, lumrah kita jumpai. Salah satu penerapannya, dapat kita jumpai pada pendidikan medis. Di dalam artikel ini, mimin akan membahas bagaimana peran besar VR dalam pendidikan medis, terutama dalam perannya membantu efisiensi anggaran dan efektifitas proses belajar.
Kita mulai dari manfaat yang pertama yakni
VR memungkinkan mahasiswa kedokteran mempelajari struktur tubuh manusia secara lebih mendalam dengan model 3D interaktif. Tidak seperti manekin atau replika boneka, VR menghadirkan anatomi manusia secara dinamis dan dapat dieksplorasi dari berbagai sudut. Jaringan tubuh terdalam dan berbagai organ mikroskopis dapat dilihat dengan jelas.
Pelatihan medis dengan manekin memiliki keterbatasan dalam menampilkan reaksi tubuh secara alami. VR mampu menggantikannya dengan simulasi real-time. Mahasiswa kedokteran dapat berlatih prosedur seperti bedah, resusitasi, dan penanganan kondisi darurat dalam lingkungan yang aman tanpa risiko bagi pasien nyata.
Dibandingkan dengan praktik langsung yang terbatas oleh ketersediaan pasien atau alat medis, VR memungkinkan pelatihan berulang kali tanpa batasan. Ini membantu mahasiswa dan tenaga medis meningkatkan keterampilan mereka secara bertahap hingga benar-benar menguasainya sebelum menangani kasus nyata. Mereka dapat mempelajari bentuk tubuh dari cadavers.
VR menawarkan visualisasi data tingkat lanjut, memungkinkan mahasiswa memahami proses fisiologis dan patologi dengan lebih jelas. Misalnya, mereka dapat melihat bagaimana penyakit berkembang dalam tubuh atau memahami efek obat pada organ tertentu, yang sulit diduplikasi dengan metode pembelajaran tradisional.
VR memungkinkan interaksi langsung dengan dokter dan ahli medis dari berbagai belahan dunia tanpa perlu hadir secara fisik. Dalam lingkungan virtual, tenaga medis dapat berdiskusi, berbagi pengetahuan, dan bahkan melakukan prosedur bedah secara kolaboratif menggunakan simulasi berbasis VR.
Inilah penjelasan lengkap tentang peran VR dalam dunia pendidikan medis. Memang, penerapan VR belum bisa sepenuhnya menggantikan penggunaan cadavers, tapi penerapan VR jelas lebih baik ketimbang penggunaan replika boneka atau manekin. Simulasi yang diberikan VR, dapat membantu mahasiswa kedokteran untuk lebih mudah mengatasi rasa gugupnya ketika harus berhadapan dengan mayat sungguhan.
Apabila Anda berminat untuk menciptakan aplikasi virtual realitynya sendiri sesuai kebutuhan bisnis yang ada, hubungi saja Vilabs. Anda bisa menghubungi mereka melalui klik tombol WhatsApp di bawah ini;